Penyakit jantung pada anjing dan kucing kini mulai banyak ditemukan
di ruang praktik dokter hewan. Namun para praktisi masih terkendala oleh
ilmu, obat, dan alat yang sulit didapat di Indonesia.
Hal itu diungkapkan praktisi hewan kecil Drh Amir Mahmud kepada Kompas,
Minggu (4/3/2012). Drh Amir sedang mengikuti Musyawarah Nasional
Asosiasi Dokter Hewan Praktisi Hewan Kecil Indonesia (Munas ADHPHKI) dan
Konferensi Ilmiah Veteriner Hewan Kecil, yang berlangsung sejak Jumat
(2/3/2012) di Surabaya, Jawa Timur.
Drh Amir Mahmud adalah penulis buku Gagal Jantung Kongestif pada Anjing (Congestive Heart Failure in Dogs). Buku ini merupakan satu-satunya buku penyakit jantung pada anjing yang terbit di Indonesia.
Menurut
Drh Amir, dalam konferensi ilmiah, Sabtu (3/3/2012), mengemuka bahwa
bedah mikro, endoskopi, ekhokardiografi, dan ilmu penyakit jantung pada
anjing dan kucing kini semakin berkembang di Indonesia.
Empat hal
tersebut saat ini memang masih belum populer di kalangan praktisi dokter
hewan Indonesia. Namun perlahan tapi pasti para pelopor kemajuan bidang
veteriner ini sudah mulai bergerak dan mengintroduksi hal-hal baru di
Indonesia. Hal tersebut sudah berkembang beberapa tahun yang lalu di
negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan.
Selain
berkaitan dengan teknologi tinggi dengan penggunaan alat-alat canggih,
masalah tingginya biaya juga menjadi kendala tersendiri bagi para dokter
hewan praktisi dan masyarakat umum pengguna jasa dokter hewan di
Indonesia. "Bagaimana tidak, dokter hewan praktik umumnya adalah dokter
hewan dengan praktik mandiri yang harus dibiayai sendiri, sehingga bagi
dokter hewan yang akan melengkapi fasilitas tempat praktiknya dengan
alat-alat canggih harus membeli dengan kemampuan kantong sendiri," kata
Drh Amir, yang berpraktik di Cibubur itu.
Selain isu jantung,
Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Drh
Wiwik Bagja di sela acara munas mengungkapkan, negara-negara di seluruh
dunia telah menyepakati larangan penggunaan racun stricnin bagi hewan,
misalnya anjing liar dalam rangka program eliminasi anjing sebagai hewan
tertular rabies. Namun demikian praktik penggunaan stricnin masih ada
dan dilakukan di beberapa daerah di Indonesia.
"Larangan ini berkaitan dengan penerapan animal welfare (kesejahteraan hewan). Penggunaan stricnin dikutuk di seluruh dunia," kata Drh Wiwik.
Bagi
profesi dokter hewan, penggunaan stricnin termasuk malapraktik,
sehingga termasuk dalam pelanggaran etika profesi kedokteran hewan.
Etika profesionalisme bagi profesi dokter hewan saat ini menjadi
tuntutan yang mau tidak mau harus dipenuhi oleh profesi ini, tak
terkecuali bagi para dokter hewan di Indonesia.
Sayangnya, etika
profesi ini masih belum dipahami dengan baik oleh para dokter hewan,
pemangku kekuasaan, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Inilah salah
satu tantangan organisasi dokter hewan PDHI dalam menata anggotanya.
Sumber : kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar